Wavy Tail #dhedie_triks { position:fixed;_position:absolute;bottom:0px; left:0px; clip:inherit; _top:expression(document.documentElement.scrollTop+ document.documentElement.clientHeight-this.clientHeight); _left:express;

Translate

Selasa, 04 Agustus 2015

Cerpen Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina


1)      Struktur cerpen
a.       Abstrak :
Kemilau emas memancar saat Zhu membentangkan benang emas di sudut kain pelepai. Sinar perak jarum di tangannya menyulam satu kehidupan tajam yang menusuk. Udara Danau Menjukut berbau bunga kopi, bertiup perlahan memasuki rongga hati, dan menghempas dada Zhu pada barisan awan di langit menuju ke arah laut, ke arah pantai, ke arah teluk Tanjung Cina. Di sanalah Sulaiman, lelaki yang telah menebas separuh umurnya, telah terkubur dan pergi

b.      Orientasi :
 “Sulaiman. Sulaiman. Itulah Zhu, dan aku bicara padamu!”
Bukit Barisan Selatan yang memanjang bergelombang seperti hidup, karang-karang yang menjorok runcing dan tegak menuju ke arah perih laut Hindia, dari Krui hingga Pulau Betuah. Dan bunga-bunga kopi, dan pucuk-pucuk damar, dan awan awan biru-semua jelmaan tanah Tuhan ini, semata tercipta untuk kesetiaan cinta pada Sulaiman.
Kegembiraan separuh umur, dan kesedihan pada ujung hidupnya, menciptakan runcing jari-jari Zhu pandai menari. Menari dan bernyanyi di atas hamparan kain sulaman. Menyerut seluruh jiwa yang sedih, yang gembira, yang mabuk, dan putus asa. Lautan asmara, nyanyian cinta, kerinduan perih, dan pujian kepada tanah tempat lelakinya terkubur. Ia menyeru di atas sehelai kain pelepai, menggambar pola-pola yang rumit, dan membayangkan seluruh dirinya masuk. Menjadi naga yang
menggerakkan seluruh gelombang tanah, bukit, gunung-gunung, menjadi liukan benang-benang emas dan rajutan benang-benang perak yang berkelit dan berkelindan dalam gulungan warna aroma ombak, hijau daun, putih awan.

c.       Komplikasi :
Sejak sore hari, menjelang magrib, tanda-tanda itu sudah dimulai. Made Sukari berlari menuruni bukit, sambil terus menunjukan ke arah lembah,”Celaka. Mereka betul-betul tengah bergerak! Mereka hendak menyerbu!”
Dua ekor gajah telah mati,seminggu sebelum kegawatan semakin memuncak, dan Made Sukari berlari memberi tanda menuruni bukit. Wajah-wajah pucat dan gemetaran menjalar, melewati ladang, kebun, dan  rumah-rumah yang langsung siaga.
Akulah lelaki yang menentang angin di malam ketika serentetan tembakan menggema sepanjang malem. Akulah yang seringkali berkata kepada mereka, bahwa kematian gajah-gajah hanyalah alasan agar kami semua dianggap bersalah, dan berhak untuk dipaksa pergi. “pergilah kalian, bakar kebun kopi dan ladang, dan berhak untuk dikembalikan menjadi hutan!” begitulah yang seringkali kudengar dari mulut ibuku saat menceriterakan bagaimana ayahku mati. Maka tak perlu lagi bertanya tentang siapa pembunuh gajah, kenapa gajah harus dibunuh. Demi Tuhan, ketika Made Sukari berlari menuruni bukit, dan para lelaki berkumpul dibalai kampong lalu memainkan gamelan bamboo cetik dengan putus asa, aku sudah berkata : “ Larilah ke hutan. Carilah jalan.”
Tapi mereka bergeming. Lalu suara tembakan, lalu asap pertama mengepul, lalu suara-suara jeritan, teriakan dan entah-barangkali kematian. Gelap aku menerabas pepohonan,menyeret tanggan Nyiwar-ibuku.berkelebetan di pekat hutan, terus berlari, menerabas berhari-hari.entah berapa waktu telah hilang digerus perih dan lapar,dan kesakitan. Hingga tiba di kampong yang entah,sebuah jalan raya, dan truk pengangkut karet membawaku ke depan pintu gerbang ini.
“ Tolong bukakan gerbang.katakan pada Nona Zhu, saya Sulaiman. Saya tidak sedang membawa barang. Saya harus ketemu Nona Zhu.”
Sulaiman, dan berpuluhan lelaki yang ia kenal baik, biasanya datang membawa karung-karung biji kopi kering dengan kualitas terbaik. Tapi kali ini, Zhu melihat sesosok  lelaki berantakan, penuh goresan luka, serta menggengam bungkusan kain-yang jelas pastilah bukan biji kopi- dan memandang kepadanya dengan tatapan gawat. Zhu melangkah mundur dengan refleks, “ Cepat masuk!”
“Mohon maaf,Nona Zhu, ini ibu saya,” Sulaiman memperkenalkan Nyiwar. “Saya tidak membawa…”
“Sutinaaahhhhh,” Zhu memanggil pelayan, lalu menatap sulaiman, “Kalian belum makan berhari-hari? Demi Tuhan,aku sudah mendengar berita-berita soal kerusuhan di Kualakambas. Hampir semua supir menceritakan isu-isu simpang siur. Astaga.”
“Saya, Nona,” seorang pelayan perempuan muncul. “ Segera siapkan makanan!” Zhu menghirup nafas dalam-dalam. “ Setiap petugas yang datang memeriksa gudangku, selalu aku katakan, bahwa aku tak pernah menerima biji kopi dari perkampungan yang masuk kawasan hutan negara. Tapi kau tahu, Sulaiman, bertahun-tahun aku tetap menerima kopi dari kalian. Selalu dalam pikiranku, bahwa ada sesuatu yang salah dari negeri  ini. Nah, sampai dua hari lalu, aku mendapat penekanan yang lebih keras, bahkan ancaman, jika ada karung-karung biji kopi yang dicurigai berasal dari kawasan hutan negara, gudangku akan dibakar. Nah, bisa apa aku, Sulaiman? Sekarang engkau makanlah bersama ibumu. Sutinah sudah menyiapakannya. Setelah itu, pergilah…. Demi tuhan, Sulaiman, aku tak bisa berbuat apa-apa. Bisa apa aku, dalam kondisi seperti ini? Aku tidak bisa menawarkan kalian untuk tinggal.”
“Saya memang tidak tahu dimana saya harus tinggal,Nona. Saya datang ke sini lantaran bertahun-tahun Nona melindungi kami, dengan cara tetap membeli kopi dari kebun kami meskipun teramat besar resiko buat Nona. Tentu saya tidak akan lagi merepotkan….”
Ada nada perih, dan Zhu tak sanggup menatap wajah lelaki itu.

Selalu ia berkata:”Belum saatnya engkau mengerti
,Zhu. Tetap tinggallah di kamar. Jangan keluar rumah. Jangan bercerita pada siapa pun, bahwa ada banyak orang dirumah ini. Engkau mengerti?”
Dan ia hanya mengangguk.dan bertahun-tahun kemudian, barulah ia mengerti.
Lalu kini, di hadapannya, seorang lelaki muda dan seorang perempuan tua, menjadi perlarian dan datang di depan gerbang pintu rumahnya. Ia melihat kedua orang itu dari jauh, dari sebrang meja makan, dan air mata Zhu menitik dalam diam. Demi Tuhan, bukan dua sosok di meja makan itulah yang ia lihat, tapi bayangan sebelas tahun silam serta keagungan ayahnya yang mampu berdiri tegak diantara  para perlarian, meskipun penuh resiko.

“Terimakasih, Nona. Hanya delapan belas kain tipis itulah barang yang bisa kami bawa. Terserah Nona, mau dinilai berapa. Kami membutuhkan uang untuk pergi ke Jawa.delapan belas kain tapis ini, disulam ibu saya dengan sepenuh jiwa bertahun-tahun,” begitulah Sulaiaman berkata.
Lalu Zhu melihat kepergian dua orang itu. Terpaksa hanya bisa melihat. Dengan hati perih.
Siapa nanya, bahwa delapan belas helai kain tapis buatan tangan Nyiwar, telah membuat batin Zhu tercabik parah dan gila, begitu teramat menderita. Ia tak pernah membayangkan, bahwa sehelai kain akn menyimpan getaran dahsyat yang langsung menusuk pada jiwanya yang paling dalam. Pola-pola dari silangan benang emas dan benang perak, liuk-liukan garis yang menyerupai api, cinta, dendam, serta gambar gambar dekoratif dalam olahan lambang daun, tanah, laut, dan langit,telah menuntutnya untuk berkaca pada dirinya, serta hatinya. Alangkah dalam sentuhan jiwa yang paling perih, alangkah gila cinta yang tertahan rindu dan kehilangan, alangkah ganas dendam yang terekam dalam keputusasaan, alangkah indah jiwa-jiwa yang halus! Sungguh Zhu merasa telanjang dan malu. Betapa ia malu.
Dengan segera ia menyebar orang-orang untuk mencari jejak Sulaiman.

“Carilah mereka. Geledah setiap kamar penginapan. Periksa setiap ruas jalan pintas perkampungan. Mereka baru pergi dua belas jam! Kalian paham? Bawa mereka kesini, bawalah mereka…”

Zhu memberi perintah pada semua yang ada, setengah memohon, setengah menangis. Ia lantas berlari ke tengah halaman, melihat langit, dan mencoba menemukan wajahnya sendiri di keluasan langit. Pada awan-awan yang berarak. Pada biru warna yang menyerupai cermin. Hingga larut malam tak ada kabar. Hingga Zhu tertidur memeluk delapan belas kai tapis.
Hingga harapan pagi harinya berubah semakin tipis. Dan pada siang hari, seorang pencari mengetuk ruangan Zhu sambil berkata,

                “Mereka sudah ada di depan, Nona.”

Alangkah aneh, saat Zhu langsung menghambur dan memeluk Nyiwar, “Tidak sepatutnya aku meminta kalian pergi. Aku meminta maaf. Tinggallah disini.”
                “Terimakasih Nona. Tapi kenapa ?” Sulaiman menyela.
                Ia merasa heran.

“Aku malu dengan kebesaran Ayah, kemuliaan leluhur, yang menitipkan namanya padaku. Kami pernah mengalami hal serupa denganmu, Sulaiman. Dan kini, aku siap dengan segala resiko. Sekali lagi, aku mohon, maafkan keputusanku yang terburu-buru kemarin. Tinggallah di sini.” Betapa Zhu ingin terus memeluk Nyiwar,melihat kedalaman matanya, merasakan kerut tanganya, dan melihat ada apakah dibalik tubuh ringkih yang sesunggunya teramat perkasa ini? Dari mana datangnya kehalusan jiwa sehingga tangan keriput ini bisa mengalirkan keindahan,kobaran cinta, kerinduan sedih, serta dendam putus-asa, lewat tarian sulaman kain tapis yang begitu menggetarkan? Ia ingin bertanya. Ia ingin menyelam. Ia ingin merengkuhkan seluruh tubuhnya, dan dengan hormat memanggil “Ibu.”
Maka setiap malam, ia selalu datang mengajak Nyiwar menyelami langit di halaman, duduk berdua, meliat laut melewati bulan.

“Bulatan cahaya bulan,bunga, kopi, dan warna laut diatas kain tapis,seperti hamparan tanah,Nona. Benang emas akan mengalir dengan gerak batang jarum sebagai takdir. Seperti harapan ketika membesarkan Sulaiman. Seperti cinta yang tak habis pada ayah Sulaiman. Seperti mencintai rumah dan tanah. Cobalah Nona genggam sekepal tanah,rasakan denyutnya. Kain tapis, benang, warna-warna , semua akan berdenyut jika dirasakan dengan benar….”
Nyiwar akan terus bicara, dan Zhu dengan sungguh-sungguh menyimak.

Kadang tentang masa kecil Sulaiman,. Tentang penembakkan. Tentang air mata yang mengalir saat menanam benih kopi. Tentang gelak tawa. Tentang air hujan. Tentang pembakaran rumah. Tentang apa saja.
                “Jadi Ibu membesarka Sulaiman sendiri?”

“Dengan tanaman kopi, ya, dengan sedikit getah damar. Semua,semua,semua adalah tinggal keringat kami. Dan juga doa.”

  Nyiwar kadang terkekeh saat menceritakan Sulaiman.

“Ia seperti ayahnya, dengan naluri besar melindungi dan membela para petani. Menyelundupkan biji-biji kopi agar tetap bisa dijual, dan berbagai upaya agar petani bisa bertahan, ditengah berbagai ancman. Ia seperti ayahnya. Tak bisa melihat orang lain menderita. Kau tahu, Nona, ia melihat dengan kepala sendiri, saat ayahnya ditembak mati.
Adakah yang gentar menolak takdir? Saat cahaya langit terus berganti,maka cahaya hati juga bisa berganti. Setiap kali Zhu memandang di kejauhan kamar, tempat lelaki itu membuka jendela, ia selalu melihat bayangan ribuan kunang-kunang yang melesat memnuhi hatinya. Ia tiba-tiba saja merasakan bagaimana angin yang bertiup dari kamar Sulaiman, adalah tiupan harum seribu bunga. Ia benci jatuh cinta, tapi ia juga tak bisa menolak jatuh cinta. Berhari, berminggu, kekaguman pada lelaki itu semakin tumbuh. Wawasannya yang luas, cara bicaranya yang sopan, dan terutama; tindakan-tindakan berbahaya yang terus ia lakukan meskipun ia dalam persembunyian. Ia terus menggalang kontak dengan para petani, mencatat data, mencari bukti-bukti. Berkali Sulaiman tak pulang dan Zhu menjadi cemas. Maka berkali ketika akhirnya Sulaiman muncul, rona wajah Zhu menjadi purnama.

d.      Resolusi

Zhu Ni Xia, perempuan matang yang kini telah memilih takdirnya. Pada malam ketika barang singgah dibandar, ia menitipkan pesan untuk ayahnya.

“Aku telah menemukan lelaki,Ayah! Dan aku jatuh cinta kepadanya. Datanglah segera untuk menjadi wali putrimu tercinta.”

Ada purnama, ada cahaya, tapi ada lautan yang mengirimkan badai.

“Sampaikan pada Sulaiman, aku bersedia menjadi istrinya,” begitu ia meminta kepada Nyiwar, dan begitulah Nyiwar mengatakan pada Sulaiman. Lalu bulan berganti.

Ketika madu tumpah dilautan, ketika ia telah resmi memanggil Ibu kepada Nyiwar, dan begitulah Nyiwar –perempuan lembut sekokoh karang-dan ia resmi memanggil Abang kepada suami; angin ibukota tiba-tiba mengirimkan badai lebih besar pada parasnya yang jelita.
e.       Koda

Dari Teluk Jakarta sebuah kapal perang berpenumpang ratusan prajurit merapat di Bandar, mengendap di subuh hari. Mengepung kota, menyisir gunung. Berita pemberontakan petani kopi kembali pecah menjadi prahara.

Segerombolan lelaki garang mendobrak gerbang pintu rumah pengantin jelita, membakar gudang dan memporakporandakan segala.

Teriakkan kata penghianat dan penadah, mengawali letusan tembakkan dipagi buta. Sulaiman digelandang paksa meninggalkan ceceran darah, dan tatapan penuh cinta.

f.       Evaluasi
Adakah yang gentar menolak takdir? Saat cahaya langit terus berganti,maka cahaya hati juga bisa berganti. Setiap kali Zhu memandang di kejauhan kamar, tempat lelaki itu membuka jendela, ia selalu melihat bayangan ribuan kunang-kunang yang melesat memnuhi hatinya. Ia tiba-tiba saja merasakan bagaiman angin yang bertiup dari kamar Sulaiman, adala tiupan harum seribu bunga. Ia benci jatuh cinta, tapi ia juga tak bisa menolak jatuh cinta. Berhari, berminggu, kekaguman pada lelaki itu semakin tumbuh. Wawasanya yang luas, cara bicaranya yang sopan, dan terutama; tindakan-tindakan berbahaya yang terus ia lakukan meskipun ia dalam persembunyian. Ia terus menggalang kontak dengan para petani, mencatat data, mencari bukti-bukti. Berkali sulaiman tak pulang dan Zhu menjadi cemas. Maka berkali ketika akhirnya Sulaiman muncul, rona wajah Zhu menjadi purnama.







g.     Unsur intrinsik
1.      Tema
Kerinduan seorang istri terhadap suaminya yang meninggal karena mempertahankan ladang kopi.
2.      Latar
v  Suasana           :tegang,haru,sedih
v  Tempat            :Bandar Lampung,Kuala kambas,Ladang                                                                  Hutan,Kebun,Pelabuhan,Pantai,Balai kampong,Rumah Zhu.
v  Waktu             :Pagi hari,Petang,Malam hari, waktu Subuh

v  Alur     : Maju mundur (campuran)
v  Pemikiran : Penjelasan dan gambaran pengarang terhadap tokoh
v  Tokoh :
No.
Tokoh
Karakteristik Tokoh
1.
Sulaiman
Pemberani, penyayang, pantang menyerah dan gigih.
2.
Zhu Ni Xia
Baik, cerdas, ulet, tergesah-gesah dalam pengambilan keputusan, dan dermawan.
3.
Nyimar
Ibu Sulaiman yang baik, penyayang, rajin, sabar, lemah lembut, dan bekerja keras.
4.
Zhu Miau Jung
Ayah Zhu yang baik, tegas, bijaksana dan mulia.
5.
Made Sukari
Warga yang baik dan pemberani.
6.
Sutinah
Pembantu Zhu yang sigap dan penurut.


3.      Amanat :    - Mengikhlaskan  orang yang sudah meninggal.
-    Membantu orang yang kesulitan dan tanpa memandang 
4.       Sudut Pandang : Sudut pandang orang ketiga serba tahu, dan orang pertama 
5.       Gaya Bahasa     : - Pleonasme :Kemilau emas memancar.
   - Repetisi      : Hamparan ratusan kotak-kotak beton di seantero kota                                             kota itu.
       - Metafora    : Kota berteluk hangat di Selat Sunda