Cerpen Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina
1)
Struktur
cerpen
a. Abstrak
:
Kemilau emas
memancar saat Zhu membentangkan benang emas di sudut kain pelepai. Sinar perak
jarum di tangannya menyulam satu kehidupan tajam yang menusuk. Udara Danau
Menjukut berbau bunga kopi, bertiup perlahan memasuki rongga hati, dan
menghempas dada Zhu pada barisan awan di langit menuju ke arah laut, ke arah
pantai, ke arah teluk Tanjung Cina. Di sanalah Sulaiman, lelaki yang telah
menebas separuh umurnya, telah terkubur dan pergi
b. Orientasi
:
“Sulaiman.
Sulaiman. Itulah Zhu, dan aku bicara padamu!”
Bukit Barisan
Selatan yang memanjang bergelombang seperti hidup, karang-karang yang menjorok
runcing dan tegak menuju ke arah perih laut Hindia, dari Krui hingga Pulau
Betuah. Dan bunga-bunga kopi, dan pucuk-pucuk damar, dan awan awan biru-semua
jelmaan tanah Tuhan ini, semata tercipta untuk kesetiaan cinta pada Sulaiman.
Kegembiraan
separuh umur, dan kesedihan pada ujung hidupnya, menciptakan runcing jari-jari
Zhu pandai menari. Menari dan bernyanyi di atas hamparan kain sulaman. Menyerut
seluruh jiwa yang sedih, yang gembira, yang mabuk, dan putus asa. Lautan
asmara, nyanyian cinta, kerinduan perih, dan pujian kepada tanah tempat
lelakinya terkubur. Ia menyeru di atas sehelai kain pelepai, menggambar
pola-pola yang rumit, dan membayangkan seluruh dirinya masuk. Menjadi naga yang
menggerakkan seluruh gelombang tanah, bukit, gunung-gunung, menjadi liukan
benang-benang emas dan rajutan benang-benang perak yang berkelit dan
berkelindan dalam gulungan warna aroma ombak, hijau daun, putih awan.
c. Komplikasi
:
Sejak sore hari,
menjelang magrib, tanda-tanda itu sudah dimulai. Made Sukari berlari menuruni
bukit, sambil terus menunjukan ke arah lembah,”Celaka. Mereka betul-betul
tengah bergerak! Mereka hendak menyerbu!”
Dua ekor gajah
telah mati,seminggu sebelum kegawatan semakin memuncak, dan Made Sukari berlari
memberi tanda menuruni bukit. Wajah-wajah pucat dan gemetaran menjalar,
melewati ladang, kebun, dan rumah-rumah yang langsung siaga.
Akulah lelaki
yang menentang angin di malam ketika serentetan tembakan menggema sepanjang
malem. Akulah yang seringkali berkata kepada mereka, bahwa kematian gajah-gajah
hanyalah alasan agar kami semua dianggap bersalah, dan berhak untuk dipaksa
pergi. “pergilah kalian, bakar kebun kopi dan ladang, dan berhak untuk
dikembalikan menjadi hutan!” begitulah yang seringkali kudengar dari mulut
ibuku saat menceriterakan bagaimana ayahku mati. Maka tak perlu lagi bertanya
tentang siapa pembunuh gajah, kenapa gajah harus dibunuh. Demi Tuhan, ketika
Made Sukari berlari menuruni bukit, dan para lelaki berkumpul dibalai kampong
lalu memainkan gamelan bamboo cetik dengan putus asa, aku sudah berkata : “ Larilah
ke hutan. Carilah jalan.”
Tapi mereka
bergeming. Lalu suara tembakan, lalu asap pertama mengepul, lalu suara-suara
jeritan, teriakan dan entah-barangkali kematian. Gelap aku menerabas
pepohonan,menyeret tanggan Nyiwar-ibuku.berkelebetan di pekat hutan, terus
berlari, menerabas berhari-hari.entah berapa waktu telah hilang digerus perih dan
lapar,dan kesakitan. Hingga tiba di kampong yang entah,sebuah jalan raya, dan
truk pengangkut karet membawaku ke depan pintu gerbang ini.
“ Tolong bukakan
gerbang.katakan pada Nona Zhu, saya Sulaiman. Saya tidak sedang membawa barang.
Saya harus ketemu Nona Zhu.”
Sulaiman, dan
berpuluhan lelaki yang ia kenal baik, biasanya datang membawa karung-karung
biji kopi kering dengan kualitas terbaik. Tapi kali ini, Zhu melihat
sesosok lelaki berantakan, penuh goresan luka, serta menggengam bungkusan
kain-yang jelas pastilah bukan biji kopi- dan memandang kepadanya dengan
tatapan gawat. Zhu melangkah mundur dengan refleks, “ Cepat masuk!”
“Mohon maaf,Nona
Zhu, ini ibu saya,” Sulaiman memperkenalkan Nyiwar. “Saya tidak membawa…”
“Sutinaaahhhhh,”
Zhu memanggil pelayan, lalu menatap sulaiman, “Kalian belum makan berhari-hari?
Demi Tuhan,aku sudah mendengar berita-berita soal kerusuhan di Kualakambas.
Hampir semua supir menceritakan isu-isu simpang siur. Astaga.”
“Saya, Nona,”
seorang pelayan perempuan muncul. “ Segera siapkan makanan!” Zhu menghirup
nafas dalam-dalam. “ Setiap petugas yang datang memeriksa gudangku, selalu aku
katakan, bahwa aku tak pernah menerima biji kopi dari perkampungan yang masuk
kawasan hutan negara. Tapi kau tahu, Sulaiman, bertahun-tahun aku tetap
menerima kopi dari kalian. Selalu dalam pikiranku, bahwa ada sesuatu yang salah
dari negeri ini. Nah, sampai dua hari lalu, aku mendapat penekanan yang
lebih keras, bahkan ancaman, jika ada karung-karung biji kopi yang dicurigai
berasal dari kawasan hutan negara, gudangku akan dibakar. Nah, bisa apa aku, Sulaiman?
Sekarang engkau makanlah bersama ibumu. Sutinah sudah menyiapakannya. Setelah
itu, pergilah…. Demi tuhan, Sulaiman, aku tak bisa berbuat apa-apa. Bisa apa
aku, dalam kondisi seperti ini? Aku tidak bisa menawarkan kalian untuk
tinggal.”
“Saya memang
tidak tahu dimana saya harus tinggal,Nona. Saya datang ke sini lantaran
bertahun-tahun Nona melindungi kami, dengan cara tetap membeli kopi dari kebun
kami meskipun teramat besar resiko buat Nona. Tentu saya tidak akan lagi
merepotkan….”
Ada nada perih,
dan Zhu tak sanggup menatap wajah lelaki itu.
Selalu ia berkata:”Belum saatnya engkau mengerti ,Zhu. Tetap tinggallah
di kamar. Jangan keluar rumah. Jangan bercerita pada siapa pun, bahwa ada
banyak orang dirumah ini. Engkau mengerti?”
Dan
ia hanya mengangguk.dan bertahun-tahun kemudian, barulah ia mengerti.
Lalu kini, di
hadapannya, seorang lelaki muda dan seorang perempuan tua, menjadi perlarian
dan datang di depan gerbang pintu rumahnya. Ia melihat kedua orang itu dari
jauh, dari sebrang meja makan, dan air mata Zhu menitik dalam diam. Demi Tuhan,
bukan dua sosok di meja makan itulah yang ia lihat, tapi bayangan sebelas tahun
silam serta keagungan ayahnya yang mampu berdiri tegak diantara para
perlarian, meskipun penuh resiko.
“Terimakasih, Nona. Hanya delapan belas kain tipis itulah barang yang bisa kami
bawa. Terserah Nona, mau dinilai berapa. Kami membutuhkan uang untuk pergi ke
Jawa.delapan belas kain tapis ini, disulam ibu saya dengan sepenuh jiwa
bertahun-tahun,” begitulah Sulaiaman berkata.
Lalu Zhu melihat
kepergian dua orang itu. Terpaksa hanya bisa melihat. Dengan hati perih.
Siapa
nanya, bahwa delapan belas helai kain tapis buatan tangan Nyiwar, telah membuat
batin Zhu tercabik parah dan gila, begitu teramat menderita. Ia tak pernah
membayangkan, bahwa sehelai kain akn menyimpan getaran dahsyat yang langsung
menusuk pada jiwanya yang paling dalam. Pola-pola dari silangan benang emas dan
benang perak, liuk-liukan garis yang menyerupai api, cinta, dendam, serta
gambar gambar dekoratif dalam olahan lambang daun, tanah, laut, dan
langit,telah menuntutnya untuk berkaca pada dirinya, serta hatinya. Alangkah
dalam sentuhan jiwa yang paling perih, alangkah gila cinta yang tertahan rindu
dan kehilangan, alangkah ganas dendam yang terekam dalam keputusasaan, alangkah
indah jiwa-jiwa yang halus! Sungguh Zhu merasa telanjang dan malu. Betapa ia
malu.
Dengan
segera ia menyebar orang-orang untuk mencari jejak Sulaiman.
“Carilah mereka. Geledah setiap kamar penginapan. Periksa setiap ruas jalan
pintas perkampungan. Mereka baru pergi dua belas jam! Kalian paham? Bawa mereka
kesini, bawalah mereka…”
Zhu memberi perintah pada semua yang ada, setengah memohon, setengah menangis.
Ia lantas berlari ke tengah halaman, melihat langit, dan mencoba menemukan
wajahnya sendiri di keluasan langit. Pada awan-awan yang berarak. Pada biru
warna yang menyerupai cermin. Hingga larut malam tak ada kabar. Hingga Zhu
tertidur memeluk delapan belas kai tapis.
Hingga
harapan pagi harinya berubah semakin tipis. Dan pada siang hari, seorang
pencari mengetuk ruangan Zhu sambil berkata,
“Mereka sudah ada di depan, Nona.”
Alangkah aneh, saat Zhu langsung menghambur dan memeluk Nyiwar, “Tidak
sepatutnya aku meminta kalian pergi. Aku meminta maaf. Tinggallah disini.”
“Terimakasih Nona. Tapi kenapa ?” Sulaiman menyela.
Ia merasa heran.
“Aku malu dengan kebesaran Ayah, kemuliaan leluhur, yang menitipkan namanya
padaku. Kami pernah mengalami hal serupa denganmu, Sulaiman. Dan kini, aku siap
dengan segala resiko. Sekali lagi, aku mohon, maafkan keputusanku yang
terburu-buru kemarin. Tinggallah di sini.” Betapa Zhu ingin terus memeluk
Nyiwar,melihat kedalaman matanya, merasakan kerut tanganya, dan melihat ada
apakah dibalik tubuh ringkih yang sesunggunya teramat perkasa ini? Dari mana
datangnya kehalusan jiwa sehingga tangan keriput ini bisa mengalirkan
keindahan,kobaran cinta, kerinduan sedih, serta dendam putus-asa, lewat tarian
sulaman kain tapis yang begitu menggetarkan? Ia ingin bertanya. Ia ingin
menyelam. Ia ingin merengkuhkan seluruh tubuhnya, dan dengan hormat memanggil
“Ibu.”
Maka
setiap malam, ia selalu datang mengajak Nyiwar menyelami langit di halaman,
duduk berdua, meliat laut melewati bulan.
“Bulatan cahaya bulan,bunga, kopi, dan warna laut diatas kain tapis,seperti
hamparan tanah,Nona. Benang emas akan mengalir dengan gerak batang jarum
sebagai takdir. Seperti harapan ketika membesarkan Sulaiman. Seperti cinta yang
tak habis pada ayah Sulaiman. Seperti mencintai rumah dan tanah. Cobalah Nona
genggam sekepal tanah,rasakan denyutnya. Kain tapis, benang, warna-warna ,
semua akan berdenyut jika dirasakan dengan benar….”
Nyiwar
akan terus bicara, dan Zhu dengan sungguh-sungguh menyimak.
Kadang tentang masa kecil Sulaiman,. Tentang penembakkan. Tentang air mata yang
mengalir saat menanam benih kopi. Tentang gelak tawa. Tentang air hujan.
Tentang pembakaran rumah. Tentang apa saja.
“Jadi Ibu membesarka Sulaiman sendiri?”
“Dengan tanaman kopi, ya, dengan sedikit getah damar. Semua,semua,semua adalah
tinggal keringat kami. Dan juga doa.”
Nyiwar kadang terkekeh saat menceritakan Sulaiman.
“Ia seperti ayahnya, dengan naluri besar melindungi dan membela para petani.
Menyelundupkan biji-biji kopi agar tetap bisa dijual, dan berbagai upaya agar
petani bisa bertahan, ditengah berbagai ancman. Ia seperti ayahnya. Tak bisa
melihat orang lain menderita. Kau tahu, Nona, ia melihat dengan kepala sendiri,
saat ayahnya ditembak mati.
Adakah
yang gentar menolak takdir? Saat cahaya langit terus berganti,maka cahaya hati
juga bisa berganti. Setiap kali Zhu memandang di kejauhan kamar, tempat lelaki
itu membuka jendela, ia selalu melihat bayangan ribuan kunang-kunang yang
melesat memnuhi hatinya. Ia tiba-tiba saja merasakan bagaimana angin yang
bertiup dari kamar Sulaiman, adalah tiupan harum seribu bunga. Ia benci jatuh
cinta, tapi ia juga tak bisa menolak jatuh cinta. Berhari, berminggu, kekaguman
pada lelaki itu semakin tumbuh. Wawasannya yang luas, cara bicaranya yang
sopan, dan terutama; tindakan-tindakan berbahaya yang terus ia lakukan meskipun
ia dalam persembunyian. Ia terus menggalang kontak dengan para petani, mencatat
data, mencari bukti-bukti. Berkali Sulaiman tak pulang dan Zhu menjadi cemas.
Maka berkali ketika akhirnya Sulaiman muncul, rona wajah Zhu menjadi purnama.
d. Resolusi
Zhu
Ni Xia, perempuan matang yang kini telah memilih takdirnya. Pada malam ketika
barang singgah dibandar, ia menitipkan pesan untuk ayahnya.
“Aku telah menemukan lelaki,Ayah! Dan aku jatuh cinta kepadanya. Datanglah
segera untuk menjadi wali putrimu tercinta.”
Ada purnama, ada cahaya, tapi ada lautan yang mengirimkan badai.
“Sampaikan pada Sulaiman, aku bersedia menjadi istrinya,” begitu ia meminta
kepada Nyiwar, dan begitulah Nyiwar mengatakan pada Sulaiman. Lalu bulan
berganti.
Ketika madu tumpah dilautan, ketika ia telah resmi memanggil Ibu kepada Nyiwar,
dan begitulah Nyiwar –perempuan lembut sekokoh karang-dan ia resmi memanggil
Abang kepada suami; angin ibukota tiba-tiba mengirimkan badai lebih besar pada
parasnya yang jelita.
e. Koda
Dari
Teluk Jakarta sebuah kapal perang berpenumpang ratusan prajurit merapat di
Bandar, mengendap di subuh hari. Mengepung kota, menyisir gunung. Berita
pemberontakan petani kopi kembali pecah menjadi prahara.
Segerombolan lelaki garang mendobrak gerbang pintu rumah pengantin jelita,
membakar gudang dan memporakporandakan segala.
Teriakkan kata penghianat dan penadah, mengawali letusan tembakkan dipagi buta.
Sulaiman digelandang paksa meninggalkan ceceran darah, dan tatapan penuh cinta.
f. Evaluasi
Adakah
yang gentar menolak takdir? Saat cahaya langit terus berganti,maka cahaya hati
juga bisa berganti. Setiap kali Zhu memandang di kejauhan kamar, tempat lelaki
itu membuka jendela, ia selalu melihat bayangan ribuan kunang-kunang yang
melesat memnuhi hatinya. Ia tiba-tiba saja merasakan bagaiman angin yang bertiup
dari kamar Sulaiman, adala tiupan harum seribu bunga. Ia benci jatuh cinta,
tapi ia juga tak bisa menolak jatuh cinta. Berhari, berminggu, kekaguman pada
lelaki itu semakin tumbuh. Wawasanya yang luas, cara bicaranya yang sopan, dan
terutama; tindakan-tindakan berbahaya yang terus ia lakukan meskipun ia dalam
persembunyian. Ia terus menggalang kontak dengan para petani, mencatat data,
mencari bukti-bukti. Berkali sulaiman tak pulang dan Zhu menjadi cemas. Maka
berkali ketika akhirnya Sulaiman muncul, rona wajah Zhu menjadi purnama.
g.
Unsur
intrinsik
1.
Tema
Kerinduan seorang
istri terhadap suaminya yang meninggal karena mempertahankan ladang kopi.
2.
Latar
v Suasana :tegang,haru,sedih
v Tempat :Bandar Lampung,Kuala kambas,Ladang Hutan,Kebun,Pelabuhan,Pantai,Balai
kampong,Rumah Zhu.
v Waktu :Pagi hari,Petang,Malam hari, waktu Subuh
v Alur
: Maju mundur (campuran)
v Pemikiran
: Penjelasan dan gambaran pengarang terhadap tokoh
v Tokoh
:
No.
|
Tokoh
|
Karakteristik Tokoh
|
1.
|
Sulaiman
|
Pemberani,
penyayang, pantang menyerah dan gigih.
|
2.
|
Zhu
Ni Xia
|
Baik,
cerdas, ulet, tergesah-gesah dalam pengambilan keputusan, dan dermawan.
|
3.
|
Nyimar
|
Ibu
Sulaiman yang baik, penyayang, rajin, sabar, lemah lembut, dan bekerja keras.
|
4.
|
Zhu
Miau Jung
|
Ayah
Zhu yang baik, tegas, bijaksana dan mulia.
|
5.
|
Made
Sukari
|
Warga
yang baik dan pemberani.
|
6.
|
Sutinah
|
Pembantu
Zhu yang sigap dan penurut.
|
3.
Amanat
: - Mengikhlaskan orang yang sudah
meninggal.
-
Membantu orang yang
kesulitan dan tanpa memandang
4.
Sudut
Pandang : Sudut pandang orang ketiga serba tahu, dan orang
pertama
5.
Gaya
Bahasa : - Pleonasme :“Kemilau emas memancar. “
- Repetisi
:
“Hamparan ratusan kotak-kotak
beton di seantero kota
kota
itu.”
- Metafora :
“Kota berteluk hangat di
Selat Sunda”